Rabu, 07 Desember 2011

Hari Ini, HUT Provinsi Aceh Tak Ada yang Perduli

Hari ini 7 Desember, 55 tahun lalu, Aceh kembali menjadi provinsi setelah sebelumnya sempat hanya menjadi sebuah kabupaten dalam Provinsi Sumatera Utara. Sayangnya, hari ini momen itu seperti terlupakan. Tak ada sehelai spanduk pun di kantor gubernur atau di gedung dewan yang mengingatkan peristiwa dalam sejarah perjalanan Aceh ini.

Pengembalian Aceh menjadi provinsi itu tertuang dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang "Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara. Undang-undang ini undang-undang ini diterbitkan pada 29 November 1956 dan berlaku sejak diundangkan pada 7 Desember 1956.(Lihat: Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956)
Dalam undang-undang ini disebutkan, kabupaten yang menjadi wilayah Aceh adalah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat. Disebutkan juga Aceh Selatan dan Kota Besar Kutaraja (sekarang Banda Aceh) dipisahkan dari lingkungan daerah otonom Propinsi Sumatera Utara seperti tertuang dalam Perpu No 5 tahun 1950 ketika Indonesia bernama Republik Indonesia Serikat.

Peleburan Aceh ke Propinsi Sumatera Utara ini  atas keputusan Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat yang memutuskan Provinsi Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1950. Pemerintah Republik Indonesia Serikat membagi wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi. Aceh pun menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Tak hanya itu, Divisi X TNI di Aceh dibubarkan.
Keputusan ini sekaligus membatalkan Ketetapan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) No. 8/Desember/WKPH yang ditandatangani Syafruddin Prawiranegara. Isinya, menyatakan berdirinya Provinsi Aceh dengan Daud Bereueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer dengan wilayah kekuasaan Aceh, Langkat dan Tanah Karo.

Padahal, pada Juli 1948 Presiden Soekarno sempat bersumpah di hadapan Teungku Daud Beureueh. "Wallah, Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberikan hak menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam." Namun, janji itu tak pernah ditepati.

Akibatnya, kekecewaan meluap. Api perlawanan membara. Apalagi, di awal kemerdekan, Aceh mengumpulkan dana untuk perjuangan Indonesia. Jumlahnya tak tangung-tangung: 500 ribu dolar dan 5 kg emas. 


Uang itu diberikan untuk ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis.
 
Sedangkan emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.

Pada 21 September 1953, bara menjadi api. Kekecewaan meletup menjadi maklumat perang: Abu Beureueh menyatakan pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia. "Dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia Aceh dan daerah sekitarnya, lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pancasila di Aceh," demikian bunyi makmulat yang dikirim hingga ke desa-desa.

Sebenarnya, sebelum tentara dikirim untuk menumpas pemberontakan, Soekarno sebetulnya telah lebih dahulu mendatangi Aceh untuk mendinginkan suasana. Namun seperti yang dicatat Herbert Feit dalam artikelnya di Jurnal Pacific Affairs pada 1963, kedatangan Soekarno disambut poster-poster anti presiden yang salah satunya berbunyi: "Kami Cinta Presiden Tapi Lebih Cinta Agama."
Meski pada 1956 Aceh dikembalikan menjadi propinsi otonom, namun Abu Beureueh tetap bergerilya dari hutan ke hutan, memimpin perlawanan dengan mengusung bendera Darul Islam. Bahkan, pada 1958, Abu Bereueh melepaskan diri dari NII dan menyatakan diri bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)-Permesta pimpinan Syarifuddin Prawiranegara.

Setelah Aceh kembali menjadi provinsi, pada  27 Januari 1957, Ali Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Aceh dan Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Aceh. Pelantikan ini menandakan pembatalan likuidasi Provinsi Aceh. Kedua pejabat cukup berhasil meraih simpati rakyat Aceh.

Abu Bereueh baru bersedia turun gunung setelah Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal TNI A.H. Nasution membujuk Daud Beureueh untuk kembali ke pangkuan RI dan menjanjikan hak penuh rakyat Aceh melaksanakan syariat Islam.

Akhirnya, pada 22 Desember 1962, diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang melahirkan Ikrar Blangpadang. Abu Beureueh menerima perdamaian dan mengakhiri pemberontakan gagasan NII atau Republik Islam Aceh.
Tapi, sejarah kemudian mencatat, perang belum berhenti di Tanoh Jeumpa.
***

7 Desember 2011. 55 tahun telah berlalu. Abu Daud Beureueh telah lama tutup usia. Pada 10 Juni 1987 ia dimakamkan di halaman samping Masjid Beureunuen, Pidie. Namanya kini ditabalkan sebagai nama jalan. Siang tadi, menggunakan sepeda motor saya melewati Kantor Gubernur Aceh yang terletak di Jalan Teungku Daud Beureueh. Tujuannya hanya satu, ingin tahu apakah Pemerintah Aceh masih menganggap penting momen 7 Desember ini. Tengok sana-tengok sini, ternyata tak ada  sepotong pun spanduk atau apalah namanya yang mengingatkan kita pada momen bersejarah ini. Yang ada hanya baliho-baliho bergambar sang gubernur.

Seakan tak percaya, saya melintasi gedung DPRA, berharap barangkali dewan menganggap hari ini adalah hari penting bagi Aceh. Lagi-lagi tak ada satu pun tulisan yang menunjukkan penghargaan terhadap perjuangan Teungku Daud Beureueh dan para pejuang lain di masanya.
Maaf Teungku,kami sibuk berseteru. Maaf Teungku, kami lupa perjuanganmu![http://atjehpost.com/saleuem/features/10018--hari-ini-55-tahun-lalu-provinsi-aceh-kembali.html]

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...