Kamis, 08 Desember 2011

Cut Nyak Dhien

Kehidupan awal

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau[2][4]. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.[2] Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga[2][4], putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Perlawanan saat Perang Aceh

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:
Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?[2]
Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873 Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.[2] Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.[1][2] Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.[1]

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.[1][2] Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.[1] Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.[2] Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.[1] Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya.[1] Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose".[1] Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.[1]

Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid[1]
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.[2][3] Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba.[2][3] Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Dhien dipindah ke Sumedang berdasari orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya.[1] Namun, Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, sehingga ia tertangkap. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda.[5][6] Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.[1]

Masa tua dan kematian

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".[1]

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan.[6] "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.[1][2]

Makam

Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda.[6] Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer.[6] Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran. Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.[6]

Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh. Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia. Selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat.[6] Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.[6]

Apresiasi

Biografi dalam seni

Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989). Biografinya juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam majalah anak-anak Ananda.

 



Rabu, 07 Desember 2011

Hari Ini, HUT Provinsi Aceh Tak Ada yang Perduli

Hari ini 7 Desember, 55 tahun lalu, Aceh kembali menjadi provinsi setelah sebelumnya sempat hanya menjadi sebuah kabupaten dalam Provinsi Sumatera Utara. Sayangnya, hari ini momen itu seperti terlupakan. Tak ada sehelai spanduk pun di kantor gubernur atau di gedung dewan yang mengingatkan peristiwa dalam sejarah perjalanan Aceh ini.

Pengembalian Aceh menjadi provinsi itu tertuang dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang "Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara. Undang-undang ini undang-undang ini diterbitkan pada 29 November 1956 dan berlaku sejak diundangkan pada 7 Desember 1956.(Lihat: Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956)
Dalam undang-undang ini disebutkan, kabupaten yang menjadi wilayah Aceh adalah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat. Disebutkan juga Aceh Selatan dan Kota Besar Kutaraja (sekarang Banda Aceh) dipisahkan dari lingkungan daerah otonom Propinsi Sumatera Utara seperti tertuang dalam Perpu No 5 tahun 1950 ketika Indonesia bernama Republik Indonesia Serikat.

Peleburan Aceh ke Propinsi Sumatera Utara ini  atas keputusan Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat yang memutuskan Provinsi Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1950. Pemerintah Republik Indonesia Serikat membagi wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi. Aceh pun menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Tak hanya itu, Divisi X TNI di Aceh dibubarkan.
Keputusan ini sekaligus membatalkan Ketetapan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) No. 8/Desember/WKPH yang ditandatangani Syafruddin Prawiranegara. Isinya, menyatakan berdirinya Provinsi Aceh dengan Daud Bereueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer dengan wilayah kekuasaan Aceh, Langkat dan Tanah Karo.

Padahal, pada Juli 1948 Presiden Soekarno sempat bersumpah di hadapan Teungku Daud Beureueh. "Wallah, Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberikan hak menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam." Namun, janji itu tak pernah ditepati.

Akibatnya, kekecewaan meluap. Api perlawanan membara. Apalagi, di awal kemerdekan, Aceh mengumpulkan dana untuk perjuangan Indonesia. Jumlahnya tak tangung-tangung: 500 ribu dolar dan 5 kg emas. 


Uang itu diberikan untuk ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis.
 
Sedangkan emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.

Pada 21 September 1953, bara menjadi api. Kekecewaan meletup menjadi maklumat perang: Abu Beureueh menyatakan pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia. "Dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia Aceh dan daerah sekitarnya, lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pancasila di Aceh," demikian bunyi makmulat yang dikirim hingga ke desa-desa.

Sebenarnya, sebelum tentara dikirim untuk menumpas pemberontakan, Soekarno sebetulnya telah lebih dahulu mendatangi Aceh untuk mendinginkan suasana. Namun seperti yang dicatat Herbert Feit dalam artikelnya di Jurnal Pacific Affairs pada 1963, kedatangan Soekarno disambut poster-poster anti presiden yang salah satunya berbunyi: "Kami Cinta Presiden Tapi Lebih Cinta Agama."
Meski pada 1956 Aceh dikembalikan menjadi propinsi otonom, namun Abu Beureueh tetap bergerilya dari hutan ke hutan, memimpin perlawanan dengan mengusung bendera Darul Islam. Bahkan, pada 1958, Abu Bereueh melepaskan diri dari NII dan menyatakan diri bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)-Permesta pimpinan Syarifuddin Prawiranegara.

Setelah Aceh kembali menjadi provinsi, pada  27 Januari 1957, Ali Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Aceh dan Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Aceh. Pelantikan ini menandakan pembatalan likuidasi Provinsi Aceh. Kedua pejabat cukup berhasil meraih simpati rakyat Aceh.

Abu Bereueh baru bersedia turun gunung setelah Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal TNI A.H. Nasution membujuk Daud Beureueh untuk kembali ke pangkuan RI dan menjanjikan hak penuh rakyat Aceh melaksanakan syariat Islam.

Akhirnya, pada 22 Desember 1962, diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang melahirkan Ikrar Blangpadang. Abu Beureueh menerima perdamaian dan mengakhiri pemberontakan gagasan NII atau Republik Islam Aceh.
Tapi, sejarah kemudian mencatat, perang belum berhenti di Tanoh Jeumpa.
***

7 Desember 2011. 55 tahun telah berlalu. Abu Daud Beureueh telah lama tutup usia. Pada 10 Juni 1987 ia dimakamkan di halaman samping Masjid Beureunuen, Pidie. Namanya kini ditabalkan sebagai nama jalan. Siang tadi, menggunakan sepeda motor saya melewati Kantor Gubernur Aceh yang terletak di Jalan Teungku Daud Beureueh. Tujuannya hanya satu, ingin tahu apakah Pemerintah Aceh masih menganggap penting momen 7 Desember ini. Tengok sana-tengok sini, ternyata tak ada  sepotong pun spanduk atau apalah namanya yang mengingatkan kita pada momen bersejarah ini. Yang ada hanya baliho-baliho bergambar sang gubernur.

Seakan tak percaya, saya melintasi gedung DPRA, berharap barangkali dewan menganggap hari ini adalah hari penting bagi Aceh. Lagi-lagi tak ada satu pun tulisan yang menunjukkan penghargaan terhadap perjuangan Teungku Daud Beureueh dan para pejuang lain di masanya.
Maaf Teungku,kami sibuk berseteru. Maaf Teungku, kami lupa perjuanganmu![http://atjehpost.com/saleuem/features/10018--hari-ini-55-tahun-lalu-provinsi-aceh-kembali.html]

Senin, 05 Desember 2011

Penembakan Brutal di Aceh Utara, Tiga Tewas

LHOKSEUMAWE- Pemberondongan dengan senjata api secara brutal terjadi di di kawasan Krueng Jawa, pedalaman Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, Minggu (4/12) malam sekitar pukul 23.00 WIB.

Tiga warga tewas, empat kritis dan satu luka ringan. Korban tewas maupun yang kritis dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Daerah Cut Mutia di Lhokseumawe, Senin (5/12) dinihari.
Data diperoleh The Atjeh Post menyebutkan, korban tewas Hery, Karno dan Sugeng alias Sugiarto,  ketiganya warga asal Bukit Lawang, Binjai, Sumatra Utara yang selama ini bekerja di perkebunan karet milik PT Satya Agung.
Korban yang kritis di antaranya, Samin (warga Alur Genting Karang Inong, Peurelak), Harapan, Misman (warga Bukit Lawang, Sumatera Utara), dan Erik , warga Bangka Jaya, Dewantara, Aceh Utara. Sedangkan korban luka ringan Ari Fandi, warga Meunasah Mesjid, Muara Dua, Lhokseumawe.[http://atjehpost.com/nanggroe/hukum/9877-penembakan-brutal-di-aceh-utara-tiga-tewas.html]

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...